Iman Seseorang Tidak Sah Tanpa Kufur Kepada Thaghut!


Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam kepada Rasulullah, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang mengikutinya. Amma ba’du.

Sesungguhnya Allah Ta’ala tidaklah menciptakan makhluk kecuali untuk beribadah kepada-Nya semata tiada sekutu bagi-Nya, sebagaimana firman Allah Ta’ala:

“Dan tidaklah aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepadaKu.” (QS adz-Dzariyat: 56).

Jika engkau telah mengetahui hal itu, maka ketahuilah bahwa ibadah itu tidaklah disebut ibadah kecuali disertai tauhid, sebagaimana shalat tidaklah disebut shalat kecuali dengan bersuci.

Sebagaimana jika ber-hadats setelah bersuci maka membatalkannya; demikian pula syirik, jika bercampur dengan ibadah maka ia akan merusaknya, menghapuskan pahala amalan, dan pelakunya menjadi kekal di neraka.

Allah Ta’ala berfirman:

“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS an-Nisa: 48).

Allah Ta’ala juga berfirman:

“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah di neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zhalim itu seorang penolongpun.” (QS al-Maidah: 72).

Maka jika engkau telah meyakini –wahai hamba Allah– bahwa sesuatu yang paling wajib untuk diwujudkan adalah Tauhid, dan yang paling wajib engkau jauhi adalah syirik; maka ketahuilah bahwa Tauhidmu tidaklah sah kecuali dengan kufur kepada thaghut.

Yang demikian itu karena (kufur terhadap thaghut) adalah dasar dienul Islam, perintah pertama yang Allah wajibkan atas anak Adam, dan perkara pertama yang didakwahkan oleh para Nabi dan Rasul kepada kaumnya, dalilnya adalah firman Allah Ta’ala:

“Dan sungguh kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), ‘Sembahlah Allah (saja) dan jauhilah Thaghut’”. (QS. An-Nahl: 36).

Dalam ayat yang mulia ini “Allah mengabarkan bahwa Dia telah mengutus seorang Rasul pada setiap umat, kurun waktu, dan generasi manusia sejak terjadinya syirik pada kaum Nabi Nuh hingga penutup para Nabi yaitu Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Rasul itu menyeru umatnya, ‘Sembahlah Allah (saja)’; maksudnya tauhidkanlah Allah dengan ibadah, ‘dan jauhilah Thaghut’; yakni tinggalkan dan jauhi ibadah kepada selain-Nya. Untuk inilah makhluk-makhluk diciptakan, para Rasul diutus dan kitab-kitab diturunkan.

Kalimat ‘jauhilah’ itu lebih tegas daripada tinggalkanlah, karena ‘tinggalkanlah’ bermakna tidak melakukan, sedangkan ‘jauhilah’ itu mengandung makna tidak melakukan sekaligus menjauhi sejauh-jauhnya.

Ayat ini mengandung makna Laa Ilaaha Illallah, sesungguhnya ayat ini mengandung nafi (peniadaan) dan itsbat (penetapan) sebagaimana terkandung dalam Laa ilaaha Illallah. Firman-Nya, ‘Sembahlah Allah (saja)’ adalah kalimat itsbat, sedangkan firman-Nya, ‘dan jauhilah Thaghut’ adalah kalimat penafian.” [Hasyiyah Ibnu Qasim ‘ala Kitab at-Tauhid].

Seorang manusia tidaklah menjadi mukmin kepada Allah kecuali dengan kufur kepada Thaghut, Allah Ta’ala berfirman:

“Karena itu barangsiapa yang kufur kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS al-Baqarah: 256).

Buhul tali yang amat kuat disini maksudnya adalah Tauhid (Syahadat Laa ilaaha Illallah) yang didalamnya terdapat dua rukun:


  1. Pertama adalah kufur kepada Thaghut –terkandung dalam Laa ilaaha.
  2. Sedangkan rukun kedua adalah beriman kepada Allah –terkandung dalam Illallah–.


Maka tidak ada Islam kecuali dengan berpegang teguh terhadap al-‘Urwah al-Wutsqa (kalimat Tauhid). Seorang hamba tidaklah berpegang teguh terhadap al-‘Urwah al-Wutsqa kecuali jika ia telah kufur kepada Thaghut.

Ini adalah perkara yang telah diterima, disepakati dan wajib diketahui dalam agama seseorang yang Allah terangi hatinya dengan Tauhid tidak akan menentang hal ini.

Agar engkau dapat kufur kepada Thaghut –wahai hamba Allah– maka wajib atasmu mengetahui makna Thaghut, macam-macamnya dan gembong-gembongnya, serta cara kufur kepadanya; supaya engkau dapat mewujudkan rukun kufur kepada Thaghut dengan sempurna, sehingga engkau bisa menjadi seorang muwahhid yang sejati.

1. DEFINISI THAGHUT SECARA BAHASA DAN SYARIAT


Thaghut secara bahasa, dari kata Thagha, yathgha dan yathghu, thughyaan: yang berarti melampaui batas, segala sesuatu yang melampui batas dan ukurannya maka dia telah berbuat thagha, dan ia adalah thaghin (yang melampaui batas -penj).

Thagha al-Bahru (lautan), yaitu ombaknya bergelombang tinggi, seperti dalam firman Allah Ta’ala:

“Sesungguhnya Kami, tatkala air telah naik (sampai ke gunung) Kami bawa (nenek moyang) kamu, ke dalam bahtera.” (QS al-Haqqah: 11)

..yaitu ketika air telah naik dan meninggi serta telah melampaui batas normal Kami naikkan Nuh alaihi salam dan kaum Mukminin ke dalam bahtera…

Dari kata thughyan inilah kata Thaghut diambil. Thaghut ini bisa terjadi baik pada individu, kelompok, laki-laki maupun perempuan, sedangkan bentuk jama’ dari Thaghut adalah: Thawaghit. [Lihat Lisanul Arab, ash-Shihah fi al-Lughah dan Mukhtar ash-Shihah].

Adapun menurut syara’, Syaikhul Islam ibnu Taimiyah mendefinisikannya,

“Thaghut dari kata thughyan, sedangkan thughyan berarti melampaui batas, maka sesuatu yang diibadahi selain Allah apabila ia tidak membenci hal itu (tidak mengingkari peribadatan kepadanya -penj) maka dia adalah Thaghut, orang yang ditaati dalam maksiat kepada Allah adalah Thaghut. Karena itulah seseorang yang dijadikan pemutus hukum selain Kitab Allah dinamakan Thaghut, Fir’aun dan Kaum ‘Ad juga disebut Thughat.” [Majmu’ al-Fawata].

Imam Muhammad bin Abdul Wahhab berkata:

“Thaghut adalah kata umum untuk segala sesuatu yang diibadahi selain Allah.” [Kitab At-Tauhid].

Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Aba Buthain berkata:

“Thaghut mencakup semua sesembahan selain Allah, setiap pemimpin kesesatan yang menyeru kepada kebatilan serta menghias-hiasinya, juga setiap orang yang diangkat oleh manusia menjadi juru hukum diantara mereka dengan hukum jahiliyah. Juga mencakup dukun, tukang sihir, dan para pelayan berhala yang mengajak beribadah kepada ahli kubur.” [ad-Durar as-Saniyah fil Ajwibah an-Najdiyah].

Syaikh Sulaiman bin Sahman berkata:

“Beragam definisi Thaghut menurut para salaf, namun yang paling baik adalah ucapan Ibnul Qayyim rahimahullah dalam I’lamul Muwaqi’in, Thaghut yaitu segala hal yang diperlakukan oleh manusia secara melampaui batas, baik berupa sesembahan, pihak yang diikuti atau yang ditaati. Dengan demikian Thaghut suatu kaum adalah siapa saja yang mereka jadikan sebagai pemberi keputusan selan Allah dan Rasul-Nya, atau yang mereka sembah selain Allah, atau yang selalu mereka ikuti tanpa ilmu dari Allah, atau yang selalu mereka ta’ati dalam perkara yang tidak mereka ketahui bahwasannya itu adalah ketaatan hanya untuk Allah.” [ad-Durar as-Saniyah].

2. JENIS-JENIS THAGHUT DAN GEMBONG-GEMBONGNYA


“Thaghut itu ada tiga jenis : 1. Thaghut hukum; 2. Thaghut ibadah; 3. Thaghut tha’ah dan mutaba’ah.” [Ad-Durar As-Saniyah].

Thaghut itu banyak, namun gembongnya ada 5, yaitu:

Pertama: Setan yang menyeru untuk beribadah kepada selain Allah. 


Allah Ta’ala berfirman, “Bukankah aku telah memerintahkan kepadamu hai Bani Adam supaya kamu tidak menyembah setan? Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu.” (QS. Yasin: 60).

Maka setan adalah Thaghut terbesar, yang selalu berusaha untuk memalingkan manusia dari ketaatan kepada Allah. Ada juga manusia yang ikut serta bersama setan menghalangi manusia dari beribadah kepada Allah, maka mereka itu juga disebut Thaghut.

Kedua: Hakim yang merubah hukum-hukum Allah.


Allah Ta’ala berfirman, “Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang di turunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah meningkari thaghut itu. Dan setan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.” (QS. An-Nisa’: 60).

Mereka itu diantaranya kepala negara, dewan pemerintahan, raja-raja dan para pemimpin yang mengganti hukum-hukum syariat dengan undang-undang buatan, hukum-hukum adat dan tradisi-tradisi suku, atau menelantarkan hukum syariat, sebagaimana mereka membatalkan hudud, jihad dan zakat.

Ketiga: Siapa saja yang berhukum dengan selain apa yang Allah turunkan.


Allah Ta’ala berfirman, “Barang siapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang Allah turunkan, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS. Al-Maidah: 44).

Ibnul Qayyim berkata, “Barang siapa menggugat lawannya dengan hukum selain Allah dan Rasul-Nya maka sungguh dia telah berhukum kepada Thaghut, padahal sesungguhnya ia telah diperintahkan untuk kufur kepadanya. Tidaklah seorang hamba dikatakan kufur kepada thaghut sampai ia menjadikan hukum itu milik Allah semata.” [Thariqul Hijratain].

Maka jika seorang hakim menghukumi antara kedua orang yang berselisih dengan selain apa yang Allah turunkan; seperti ia menghukumi dengan undang-undang buatan, adat istiadat masyarakat atau dengan hawa nafsu; maka ia telah murtad dari agama Allah dan menjadi Thaghut.

Demikian juga bahwa setiap orang yang gugat-menggugat kepada hakim yang memutuskan dengan selain apa yang Allah turunkan maka mereka semua kafir, Allah Ta’ala berfirman:

“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikanmu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. an-Nisa’ 65).

Di sini Allah meniadakan iman dari mereka karena mereka tidak menjadikan syariat Allah sebagai hukum pemutus perkara diantara mereka, sebagaimana Allah juga menafikan iman dari orang yang berhukum kepada Thaghut, atau berniat dan ingin berhukum kepadanya, sebagaimana disebutkan dalam ayat yang telah lalu, “Mereka hendak berhakim kepada thaghut…” (QS. an-Nisa: 60).

Keempat: Orang yang mengaku mengetahui hal yang ghaib.


Allah Ta’ala berfirman, “Katakanlah: “Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah”, dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan.” (QS. an-Naml: 65).

Barang siapa menyangka bahwa dia mengetahui perkara ghaib maka dia adalah Thaghut, karena dia telah menjadikan dirinya tandingan bagi Allah, dan mengklaim salah satu sifat Rububiyah, Allah Ta’ala berfirman:

“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali dia sendiri.” (QS. al-An’am: 59).

Allah juga berfirman: “(Dialah Rabb) yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu.” (QS. Al-Jin: 26).

Demikianlah, bahwa siapa saja yang mengaku mengetahui hal ghaib berarti dia telah mendustakan keterangan al-Qur’an al-Karim.

Wajib bagi setiap muslim berhati-hati untuk tidak mendatangi orang yang mengaku memiliki ilmu ghaib, seperti tukang sihir, dukun dan peramal, juga jangan sampai membenarkan pengakuan mereka.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

 “Barangsiapa mendatangi tukang ramal kemudian ia bertanya kepadanya tentang sesuatu saja, maka tidak diterima shalatnya selama empat puluh malam.” [HR. Muslim].

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Barangsiapa mendatangi dukun atau peramal, kemudian dia membenarkan apa yang dikatakannya, maka sungguh dia telah kufur terhadap apa yang di turunkan kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.” [Hadits Hasan, diriwayatkan oleh Ahmad dan lainnya].

Sekedar mendatangi para penyihir, dukun dan peramal saja bisa menyebabkan tidak di terimanya shalat, apalagi jika kedatangannya kepada mereka disertai dengan pembenaran terhadap apa yang mereka katakan maka ini adalah sebuah sebab kekufuran.

Kelima: Siapa saja yang disembah selain Allah sedangkan dia ridha, atau siapa saja yang mengajak manusia untuk menyembah dirinya.


Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala, “Dan barang siapa diantara mereka mengatakan, ‘Sesungguhnya aku adalah tuhan selain daripada Allah’, maka orang itu Kami beri balasan dengan Jahannam, demikian Kami memberikan pembalasan kepada orang-orang yang zhalim.” (QS. Al-Anbiya’: 29).

Ibadah adalah murni hak Allah Ta’ala, tidak pantas seorangpun mengajak untuk menyembah dirinya, atau untuk beribadah kepada selain Allah. Jika berbuat demikian maka dia adalah Thaghut.

Ibnu Athiyah berkata, “al-Qadhi Abu Muhammad berkata, ‘Segala sesuatu yang di ibadahi selain Allah maka ia adalah Thaghut, ini adalah penamaan yang benar untuk setiap sesembahan yang ridha terhadap peribadatan itu, seperti Fir’aun dan Namrud. Adapun orang yang tidak ridha terhadap peribadatan itu seperti ‘Uzair dan Isa ‘alaihi salam maka tidak dinamakan Thaghut’.” [al-Muharrar al-Wajiz fi Tafsiril Kitab al-Aziz].

Kelima macam itu adalah gembong-gembong Thaghut yang di sebutkan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dalam risalah-risalahnya rahimahullah.

Adapun Thaghut modern sangat banyak, diantaranya Majelis Tasyri’ (Parlemen) yang menetapkan undang-undang buatan agar dijadikan sumber hukum oleh manusia sebagai ganti dari hukum Allah Ta’ala.

Juga PBB, Dewan Keamanan Internasional dan Mahkamah Internasional, semuanya ini mengajak beribadah dan taat kepada selain Allah, mengikuti dan berhukum kepada selain syariat Allah.

Termasuk Thaghut kontemporer adalah Kementrian Keamanan, Pertahanan, dan Dalam Negeri, yang memerangi syariat Allah, melaksanakan hukum-hukum buatan dan selalu mengawasi penerapannya.

Termasuk kategori Thaghut adalah berhala Demokrasi, Nasionalisme dan Kerakyatan, dan masih banyak lagi Thaghut kontemporer lainnya.


3. CARA KUFUR KEPADA THAGHUT


Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab berkata, “Adapun sifat kufur kepada Thaghut adalah engkau meyakini batilnya ibadah kepada selain Allah, engkau meninggalkan juga membencinya, dan engkau kafirkan pelakunya serta memusuhi mereka.

Adapun makna iman kepada Allah adalah engkau meyakini bahwasannya Allah-lah satu-satunya Ilah yang diibadahi bukan selain-Nya.

Engkau mengikhlaskan segala macam ibadah seluruhnya hanya untuk Allah. Engkau tiadakan segala macam ibadah dari setiap sesembahan selain Dia. Engkau mencintai orang-orang mukhlis dan loyal kepada mereka. Engkau membenci dan memusuhi pelaku kesyirikan.

Ini adalah Millah Ibrahim, tidak ada yang membencinya kecuali orang yang memperbodoh dirinya sendiri, inilah suri tauladan yang Allah khabarkan dalam firman-Nya:

“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu ibadahi selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian untuk selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja.” (QS. Al-Mumtahanah: 4).”

Beliau juga berkata, “Makna kufur kepada Thaghut adalah engkau berlepas diri dari segala sesuatu yang diyakini sebagai tuhan selain Allah, berupa jin, manusia, pohon, batu ataupun lainnya, engkau mengakui akan kekafiran dan kesesatan pelakunya, engkau membencinya walaupun dia adalah bapakmu atau saudaramu.” [ad-Durar as-Saniyah].

Syaikh Sulaiman bin Sahman berkata,

“Allah Ta’ala berfirman, “Dan orang-orang yang menjauhi Thaghut (yaitu) tidak menyembahnya dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira; sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba-hambaKu.” (QS. Az-Zumar: 17).

Dalam ayat-ayat ini dari berbagai sisi terdapat hujjah wajibnya menjauhi Thaghut. Yang dimaksud menjauhi Thaghut adalah membenci dan memusuhinya dengan hati, mencela dan menjelaskan keburukannya dengan lisan, menghilangkannya jika mampu serta mengucilkannya. Barang siapa yang mengaku menjauhi Thaghut namun tidak melakukan hal ini maka dia telah berdusta.” [ad-Durar as-Saniyah].

tidaklah cukup –untuk merealisasikan rukun kufur kepada Thaghut– mengkafirkan para Thaghut saja, akan tetapi wajib mengkafirkan mereka dan juga mengkafirkan para pengikutnya

Ketahuilah bahwa tidaklah cukup –untuk merealisasikan rukun kufur kepada Thaghut– mengkafirkan para Thaghut saja, akan tetapi wajib mengkafirkan mereka dan juga mengkafirkan para pengikutnya.

Adapun para pengikut Thaghut adalah mereka yang memberikan ibadah kepada para Thaghut, menaati dan mengikutinya, dengan berbagai macam bentuk baik dengan bersujud kepada Thaghut, berhukum kepadanya, menaatinya dalam kemaksiatan ataupun selainnya.

Termasuk pengikut Thaghut kentemporer adalah tentara dan pasukan mereka, personil pasukan keamanan, awak media, ulama, mufti, dan seterusnya. Tidak ada seorang muwahhidpun yang meragukan bahwa mereka adalah orang-orang kafir.

Syaikh Abdur Rahman bin Hasan bin Muhammad bin Abdul Wahhab berkata, “Sekiranya ia mengerti makna Laa Ilaaha Illallah niscaya ia mengetahui bahwa orang yang ragu terhadap kekufuran orang yang menyekutukan Allah dengan selain-Nya ia tidaklah kufur kepada Thaghut.” [ad-Durar as-Saniyah].

Adapun puncak kufur kepada Thaghut adalah memerangi para Thaghut serta pengikutnya ini sebagai bentuk meninggikan kalimat Allah. Allah berfirman:

“Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah, dan orang-orang kafir berperang di jalan thaghut, sebab itu perangilah kawan-kawan setan itu, karena sesungguhnya tipu daya setan itu adalah lemah.” (QS. an-Nisa: 76).

Penting untuk disebutkan bahwa diantara hal terpenting dalam menjauhi thaghut modern saat ini adalah meninggalkan mereka dan para pengikutnya, tidak tinggal bersama mereka, tidak bermukim di negeri mereka, dan memboikot mereka serta negeri-negeri mereka.

Dari sinilah yang wajib dilakukan bagi siapa yang ingin merealisasikan ayat “Dan orang-orang yang menjauhi Thaghut (yaitu) tidak menyembahnya” dan “Sembahlah Allah saja dan jauhilah Thaghut.”

...yaitu hijrah dari negeri-negeri kufur yang penuh dengan berbagai macam thaghut ke Darul Islam yang bersih dari Thaghut. Allah berfirman mengenai yang dikatakan dan dilakukan oleh Nabi Ibrahim ‘alaihi salam kepada para Thaghut kaumnya:

“Dan aku akan menjauhkan diri daripadamu dan dari apa yang kamu seru selain Allah, dan aku akan berdoa kepada Tuhanku, mudah-mudahan aku tidak akan kecewa dengan berdoa kepada Rabbku.” (QS. Maryam: 48)

Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “ Sesungguhnya aku berlepas diri dari seseorang yang tinggal di tengah-tengah kaum musyrikin.” [Hadits Shahih, diriwayatkan oleh Abu Daud dan at-Tirmidzi].

Ibnul Qayyim berkata, “Pasal: Rasulullah melarang seorang muslim tinggal di tengah-tengah kaum musyrikin jika mampu berhijrah dari mereka”, kemudian beliau berdalil dengan hadits ini dan hadits-hadits lainnya. [Zaadul Ma’ad fi Hadyi Khairil ‘Ibad].

NASIHAT PENTING


Kita tutup risalah ini dengan nasihat Imam Muhammad bin Abdul Wahhab, katanya, “Maka takutlah kepada Allah wahai saudara-saudaraku. Berpegang teguhlah kepada pondasi agama kalian, yang awal maupun yang akhir, dasarnya maupun puncaknya, karena ia adalah syhadat Laa Ilaaha Illallah. Ketahuilah maknanya, cintailah ahlinya, jadikan mereka saudara-saudara kalian, meskipun mereka itu jauh.

Kufurlah kepada para thaghut, musuhilah mereka, bencilah siapa saja yang mencintai, membela atau tidak mengkafirkan mereka, atau mengatakan aku tidak memiliki urusan dengan mereka, atau mengatakan Allah tidak membebani aku untuk berurusan dengan mereka. Sungguh dia telah berdusta dan mengada-adakan kedustaan atas Allah.

Bahkan justru Allah membebaninya dengan mereka, mewajibkannya untuk kufur kepada mereka serta berlepas diri dari mereka. Meskipun mereka itu adalah saudara maupun anak-anaknya.

Maka takutlah kepada Allah! Berpegang teguhlah kalian kepada pondasi agama kalian, agar kalian ketika bertemu dengan Rabb kalian tidak dalam menyekutukan-Nya dengan apapun.

Ya Allah wafatkanlah kami dalam keadaan berserah diri kepada-Mu dan pertemukanlah kami dengan orang-orang yang shalih.” [ad-Durar as-Saniyah]. [Bolang/al-himmah/Selesai]

Sumber: Mata-Media.net