Salaf Membantah Salafi Murji’ah (Berhukum dengan Selain Syariat Allah)


Alhamdulillah, shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarganya, para sahabatnya dan kaum Muslimin yang selalu mengikuti sunnah dan jalan perjuangannya, ‘amma ba’du.

Risalah ini kami tulis secara khusus sebagai bantahan terhadap kelompok Salafi atau lebih tepatnya disebut sebagai kelompok Salafi Murji’ah yang mengklaim diri mereka yang paling mengikuti manhaj salaf, beraqidah Ahlus-Sunnah wal Jama’ah, menegakkan sunnah dan membasmi bid’ah, serta mengajak kaum Muslimin untuk kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Tidak ada kesalahan sedikit pun dari seruan mereka untuk mengajak Muslimin kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah sesuai pemahaman Salaful Ummah karena hal itu adalah sebuah kewajiban, kemuliaan dan wajib menerimanya sebagai manhaj dan cara beribadah.

Banyak pula pujian dari syariat, baik ayat-ayat Al-Qur’an maupun As-Sunnah tentang keutamaan Salaful Ummah, yakni para sahabat, tabi’in dan tabi’ut-tabi’in serta kewajiban bagi manusia setelahnya untuk berjalan diatas metode dan manhaj yang telah mereka tempuh, memahami Islam sesuai apa yang mereka fahami, dan mengamalkan Islam sesuai dengan bagaimana yang mereka amalkan.

Allah Ta’ala berfirman:

وَالسَّابِقُونَ الأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأَنصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُم بِإِحْسَانٍ رَّضِيَ اللّهُ عَنْهُمْ وَرَضُواْ عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَداً ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai didalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar”. (QS. At-Taubah 9 : 100)

Selain itu, seorang Muslim juga akan mendapatkan jaminan keselamatan dari kesesatan jika seseorang Muslim itu imannya seperti mereka, yaitu para sahabat radhiyallahu ‘anhum:

فَإِنْ آمَنُواْ بِمِثْلِ مَا آمَنتُم بِهِ فَقَدِ اهْتَدَواْ وَّإِن تَوَلَّوْاْ فَإِنَّمَا هُمْ فِي شِقَاقٍ فَسَيَكْفِيكَهُمُ اللّهُ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

“Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk..”. (QS. Al-Baqarah 2 : 137)

Para pembaca yang dirahmati Allah semuanya, pada saat turunnya ayat diatas, tentunya kata “kamu atau kalian” adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Jika seandainya ahlul Kitab dan Musyrikin beriman seperti imannya para, maka sungguh mereka akan mendapat petunjuk dan selamat dari kesesatan.

Rasulullah bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian generasi setelahnya dan setelahnya”. Ketika beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya, siapakah kelompok yang selamat itu? Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:

مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِيْ

“Apa yang aku dan para sahabatku diatasnya”. (Lihat Tafsir ibnu Katsir, 3/574)

Dan tentunya masih banyak lagi dalil-dalil syar’i yang menjelaskan tentang kewajiban bagi umat Islam untuk mengikuti generasi Salaf yang Shalih, bukan sekedar yang menamakan diri mereka Salafi.

Namun kenyataan pada hari ini kita dapati sebuah kelompok yang sangat keras terhadap bid’ah dan para pelakunya, serta menyeru manusia untuk mengamalkan sunnah, mereka memonopoli bahwa yang mengikuti manhaj salaf itu hanyalah kelompoknya saja.

Karena itulah kelompok tersebut menamakan diri mereka dengan Salafi. Banyak pula dari tokoh-tokoh mereka maupun pengikutnya yang menambahkan dibelakang namanya dengan embel-embel As-Salafiy.

Misalnya: ustadz Fulan bin Fulan As-Salafi, Abu Fulan As-Salafiy dan seterusnya. Namun sejatinya, kita tidak akan mendapati para ulama Salaf memakai embel-embel seperti orang-orang Salafi Murji’ah itu, semisal Imam Asy-Syafi’i As-Salafi, Abu Bakar Ash-Shidiq As-Salafiy, atau Imam Al-Bukhari As-Salafiy dan lain sebagainya.

Para pembaca yang dirahmati Allah semuanya, kelompok Salafi ini memang keras dalam hal bid’ah, baik bid’ah yang mukaffirah (menyebabkan pelakunya Kafir) ataupun yang bukan mukaffirah.

Namun dalam masalah berhukum kepada selain syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka sekte Salafi ini lebih condong kepada aqidah irja’, makanya sebutan untuk emreka yang lebih tepat adalah kelompok Salafi Murji’ah.

Sebab, hampir semua penguasa yang memang menolak dan tidak menerapkan syariat Islam dibela oleh kelompok Salafi Murji’ah ini dengan memanipulasi dalil maupun perkataan para ulama Salaf. Mereka menyebutkan sebagian dalil, namun menyembunyikan sebagian besar dalil yang lainnya.

Untuk membentengi umat dari syubhat kelompok Salafi Murji’ah ini, maka perlu kami menyertakan bantahan atas syubhat mereka seputar berhukum kepada selain syariat Allah Ta’ala.

Kelompok Salafi Murji’ah mengatakan: “Berhukum kepada selain syariat Allah itu memiliki rincian, tergantung pelakunya, jika pelakunya meyakini kewajiban menerapkan syariat Islam namun dia memilih syariat selain Islam, maka dia tidak Kafir. Adapun yang Kafir adalah mereka yang berhukum dengan bukan syariat Islam dan meyakini kebolehannya ataupun meyakini akan kekurangan syariat Islam, maka dia Kafir”.

Tanggapan dan pelurusan akan syubhat ini adalah:


1. Memang benar bahwa berhukum kepada selain yang Allah Ta’ala turunkan itu terkadang menjadikan pelakunya Kafir keluar dari Islam, namun bisa juga hanya merupakan maksiat besar atau kecil, kufur secara majaz, atau kufur kecil tergantung kondisi pelakunya.

Jika hakim meyakini kewajiban berhukum kepada apa yang Allah Ta’ala turunkan, kemudian dia berpaling disertai dengan pengakuannya bahwa dia berhak mendapat siksa, maka dia tidak Kafir. Dia adalah pelaku maksiat, dan bisa juga Kafir majazi atau Kafir ashghar.

Jika ia tidak mengetahui hukum Allah Ta’ala, namun dia berusaha dengan sekuat tenaga untuk mengetahui hukum Allah Ta’ala namun salah, maka dia adalah orang yang salah, dan mendapat satu pahala atas ijtihadnya dan kesalahannya dimaafkan.

Dalam hal ini, ijtihad secara luas adalah mengerahkan segala kemampuan untuk mengetahui hukum syar’i. Ingat, hukum syar’i, bukan hukum buatan manusia.

Dari kaidah ini kita dapat mengetahui penyimpangan salah satu tokoh kelompok Salafi Murji’ah, yakni Badrussalam Lc yang mengatakan jika Densus 88 itu Mujtahid dalam menjalankan tugasnya. Jika Densus 88 salah menembak orang terduga teroris, maka dapat satu pahala, dan jika benar maka dapat dua (2) pahala.

Pertanyaannya: “Apakah Densus menegakkan syariat Islam wahai penjilat penguasa????! Syariat Islam yang mana yang ditegakkan oleh Densus 88?”

2. Yang wajib Antum semua ketahui adalah: bahwa definisi diatas itu hanya berlaku dalam kaitan hukum yang bermakna Al-Qadha’ (mengambil keputusan), dan bukan dalam kaitan hukum yang bermakna At-Tasyri’ (membuat Undang-Undang dan mengganti syariat Allah dengan UU buatan).

Analogi sebelum masuk ke pembahasan selanjutnya adalah, si A berlaku sebagai hakim atau pemutus hukum, lalu diajukan kepadanya sebuah kasus pencurian yang telah mencapai batas potong tangan.

Namun dia tidak mengambil syariat itu dan memilih untuk mencambuknya, disertai dengan keyakinan akan kewajiban menjalankan syariat Islam. Namun keputusan yang dia ambil itu tidak memiliki dasar hukum selain sebatas keputusannya semata. Maka inilah hukum yang bermakna Al-Qadha’.

Lalu contoh lainnya adalah, si B adalah seorang hakim atau penguasa di sebuah negara. Negara itu memiliki UUD, KUHP dan semisalnya yang merupakan hukum buatan manusia.

Ketika ada kasus pembunuhan yang mewajibkan qishas, namun dia memutuskan bahwa hukumannya hanya di penjara karena melanggar pasal sekian dan sekian, ayat sekian tahun sekian. Atau bahkan bisa bebas karena insturksi dari Presiden dan pejabat yang berkuasa. Maka ini adalah hukum yang bermakna At-Tasyri’.

Adapun di negara ini, maka hukum itu bermakna At-Tasyri’, karena mereka memiliki dewan pembuat undang-undang yang merumuskan KUHP dan semisalnya, dan meninggalkan syariat Islam karena ini bukan Negara Islam.

Dari sini kita dapat mengetahui kedustaan para dai Salafi Murji’ah penjilat penguasa. Kami juga akan menyuguhkan kepada para pembaca MMC semuanya bukti atas apa yang kami katakan diatas tentang kekafiran orang yang tidak berhukum dengan syariat Allah dan mengganti hukum Allah dengan UU buatan manusia.

Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan tentang ayat:

أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللّهِ حُكْماً لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ

“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?”. (QS. Al-Maa’idah 5 : 50)

Allah mengingkari orang yang keluar dari hukum Allah yang muhkam lagi mencakup seluruh kebaikan dan mencegah dari setiap keburukan, dan berpaling kepada selainnya (hukum Allah) dari pendapat-pendapat, hawa nafsu dan istilah-istilahlainnya yang dibuat oleh manusia tanpa landasan dari syariat Allah.

Hal ini sebagaimana yang diterapkan pula oleh Tartar dari politik kerajaan yang diambil dari raja mereka yakni Gengis Khan, yang mana dia membuat sebuah kitab hukum bernama Ilyasiq untuk mereka.

Ilyasiq adalah sebuah kitab yang berisi tentang kumpulan hukum yang diadopsi dari berbagai macam syari’at baik dari Yahudi, Nashrani, agama Islam dan lainnya.

Didalam Ilyasiq itu banyak pula hukum-hukum yang diambil dari pendapat dan hawa nafsunya sendiri. Maka jadilah kitab ini sebuah syariat diantara kaumnya menjadi syariat yang wajib ditegakkan ditengah-tengah manusia.

Mereka juga mendahulukan Ilyasiq itu diatas syariat Allah dan sunnah Rasul-Nya. Maka barangsiapa yang melakukan ini, maka dia Kafir dan wajib bagi kaum Muslimin yang mempunyai kemampuan untuk memeranginya hingga kembali kepada hukum Allah dan Rasul-Nya, sehingga tidak ada lagi selainnya (syariat Allah) yang dijadikan hukum baik dalam perkara kecil maupun besar. (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 2/68)

Bahkan, Ibnu Katsir juga menyebutkan ijma’ atau konsensus atas Kafirnya orang yang membuat syariat selain syariat Allah Ta’ala yang dia gunakan sebagai undang-undang atau hukum.

Beliau rahimahullah berkata: “Barangsiapa meninggalkan syariat yang muhkam yang turun kepada Muhammad bin Abdillah penutup para Nabi, dan berhukum kepada selainnya dari syariat-syariat yang telah dihapus, maka dia Kafir. Maka bagaimana dengan orang yang berhukum kepada Ilyasiq dan mendahulukannya atas syariat? Barangsiapa yang melakukan ini, maka dia Kafir berdasarkan ijma’ kaum Muslimin”. (Al-Bidayah wan Nihayah, 13/119)

Dari sini sudah kita ketahui tentang seputar hukum-hukum buatan yang menyelisihi syariat Allah, di mana hukum-hukum itu telah banyak masuk ke negeri-negeri kaum Muslimin dan menjadi sebuah syariat yang wajib diikuti dan dibela. Maka ini adalah kekufuran yang nyata tanpa ada perdebatan pun.

Syaikh Ahmad Syakir mengatakan setelah penjelasan Ibnu Katsir diatas: “Sesungguhnya masalah dalam undang-undang buatan ini adalah jelas sejelas matahari di siang bolong, bahwa ia adalah kufur bawwahan (kufur yang sangat jelas) yang tidak ada kesamaran didalamnya, dan tidak ada udzur bagi seorang pun yang telah menisbatkan dirinya kepada Islam siapapun dia yang mengamalkannya, tunduk kepadanya dan mengakuinya (undang-undang buatan)”. (Umadatu At-Tafsir ‘anil Hafizh Ibnu Katsir. 4/172)

Syaikh Muhammad bin Ibrahim berkata: “Termasuk kufur akbar yang sangat jelas adalah menempatkan undang-undang laknat itu di posisi (syariat) yang dibawa oleh Ruhul Amin (Jibril ‘Alaihissalam) kepada hati Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam agar dia termasuk orang-orang yang memberi peringatan dengan lisan Arab yang jelas dalam berhukum dengannya di seluruh alam, dan mengembalikan kepadanya ketika terjadi perselisihan diantara orang-orang yang berselisih; (mengganti hukum Allah dengan hukum buatan manusia) adalah pembatal dan penentangan terhadap firman Allah:

فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ

“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian”. (QS. An-Nisaa’ 4 : 59)

Dan Allah telah menafikan iman seseorang yang tidak berhukum kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam perkara yang mereka perselisihkan dengan menyebutkan berkali-kali kalimat penafian dan dengan sumpah-Nya.

Allah Ta’ala berfirman:

فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّىَ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُواْ فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجاً مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُواْ تَسْلِيماً

“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya”. (QS. An-Nisaa’ 4 : 65). (Risalah Tahkim Al-Qawanin hal. 1)

Maka dari penjelasan diatas sudah sangat jelas sekali penyimpangan kelompok Salafi Murji’ah yang mengklaim diri dan kelompok mereka paling mengikuti Salaf dalam hal berhukum dengan hukum selain yang diturunkan oleh Allah Ta’ala. [Joko Tarub/RMC]

Sumber: Mata-Media