Inilah Macam-Macam Orang Kafir dalam Sebuah Negara


Assalamu'alaikum. Akhir-akhir ini masyarakat sedang ramai membicarakan soal istilah Kafir yang dianggap Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Ketua PBNU, Said Aqil Siradj menimbulkan kebencian, sehingga istilah Kafir harus diganti dengan non Muslim. (Baca: Liberal!! NU Minta Warga Non Muslim Tidak Disebut Orang Kafir)

Tak hanya itu, Said Aqil dan sejumlah pengurus NU yang dikenal sebagai pentolan serta tokoh Liberal pun keberatan atas istilah Kafir tersebut dan dengan mengatasnamakan NU, tokoh-tokoh Liberal yang berada di NU itu menyarankan agar Warga Negara Indonesia (WNI) yang beragama non Muslim tidak lagi disebut sebagai orang Kafir.

Karena menurut mereka, kata Kafir dianggap mengandung unsur kekerasan teologis..

Mereka juga beralasan, dalam sebuah tatanan kenegaraan, tidak ada istilah Kafir. Lalu, benarkah alasan para tokoh Liberal yang sekarang menguasai NU itu??

Ternyata mereka hanya berdusta belaka. Sebab dalam hubungan sosial dan kenegaraan dengan kaum Muslimin, orang Kafir itu dibagi atau ada 4 macam:

1) Kafir Dzimmi

2) Kafir Mu’ahad

3) Kafir Musta’man

4) Kafir Harbi

Untuk lebih jelasnya, mari kita bahas satu persatu istilah tersebut agar bisa difahami masyarakat umum dan umat Islam secara khusus agar tidak disesatakan dan dibodohi oleh orang-orang Liberal tersebut:

1) Kafir Dzimmi


Penjelasan dari para fuqaha:

أهل الذمة هم الكفار الذين أقروا في دار الإسلام على كفرهم بالتزام الجزية ونفوذ أحكام الإسلام فيهم

Kafir Dzimmi adalah orang-orang Kafir yang menegaskan kekafirannya di dalam sebuah Negara Islam (yang didalamnya diatur dengan syariat Islam secara kaffah), dengan kewajiban membayar jizyah dan diterapkan hukum-hukum Islam pada mereka. (Jawaahir Al Iklil, 1/105. Al Kasysyaaf Al Qinaa’, 1/704)

Mereka adalah orang Kafir yang tinggal menetap di Negara Islam, namun untuk perlindungan, mereka harus membayar jizyah (pajak atau upeti). Kafir Dzimmi yaitu Kafir yang jinak atau berjanji setia kepada penguasa Negara Islam dan tidak memerangi Islam dan pemeluknya.

Kafir Dzimmi adalah orang Kafir yang diam dan hidup dalam wilayah kekuasaan umat Islam, mereka berjanji setia kepadanya, mengikut peraturannya, membayar jizyah (upeti) yang dipungut tiap tahun sebagai imbalan bolehnya mereka tinggal di negeri kaum Muslimin.

Kafir seperti ini tidak boleh dibunuh selama ia masih menaati peraturan-peraturan yang dikenakan kepada mereka. Mereka dijamin keselamatan oleh Negara Islam.

” أهل الذمة : هم الذين بقوا في بلادنا وأعطيناهم العهد والميثاق على حمايتهم ونصرتهم بشرط أن يبذلوا الجزية ، وقد كان هذا موجوداً حين كان الإسلام عزيزاً ؛ أما اليوم فإنه غير موجود

Ahlu Dzimmah adalah mereka orang Kafir yang tinggal di negara kita, dan kita memberi perjanjian untuk melindungi dengan syarat mereka membayar Jizyah. Dahulu saat Islam jaya kelompok ini ada, namun sekarang tidak ada.

Dan dalil-dalil syar’i yang menunjukkan hal ini ada pada point nomor empat (4).

2) Kafir Mu’ahad


هُمُ الَّذِينَ صَالَحَهُمْ إِمَامُ الْمُسْلِمِينَ عَلَى إِنْهَاءِ الْحَرْبِ مُدَّةً مَعْلُومَةً لِمَصْلَحَةٍ يَرَاهَا ، وَالْمُعَاهَدُ : مِنَ الْعَهْدِ : وَهُوَ الصُّلْحُ الْمُؤَقَّتُ

Mereka adalah yang mau berdamai dengan imam kaum Muslimin untuk mengakhiri perang selama waktu tertentu yang diketahui melihat adanya maslahat hal itu. Al-Mu’ahad diambil dari Al-‘Ahdu, yaitu damai sementara. (Fathul Qadir, 4/293. Al Fatawa Al Hindiyah, 1/181, Syarhul Kabir, 2/190, Mughni Al Muhtaj, 4/260, Nihayah Al Muhtaj, 7/235)

Istilah lainnya adalah Al-Hudnah, atau gencatan senjata. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

فَمَا اسْتَقَامُوا لَكُمْ فَاسْتَقِيمُوا لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَّقِينَ

“Maka selama mereka (orang Kafir) berlaku istiqomah terhadap kalian, hendaklah kalian berlaku istiqomah (pula) terhadap mereka. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa”. (QS. At-Taubah 9 : 7)

Dan Allah juga berfirman,

إِلاَّ الَّذِينَ عَاهَدْتُمْ مِنَ الْمُشْرِكِينَ ثُمَّ لَمْ يَنْقُصُوكُمْ شَيْئًا وَلَمْ يُظَاهِرُوا عَلَيْكُمْ أَحَدًا فَأَتِمُّوا إِلَيْهِمْ عَهْدَهُمْ إِلَى مُدَّتِهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَّقِينَ

“Kecuali orang-orang Musyrikin yang kalian telah mengadakan perjanjian (dengan mereka) dan mereka tidak mengurangi dari kalian sesuatu pun (dari isi perjanjian) dan tidak (pula) mereka membantu seseorang yang memusuhi kalian, maka terhadap mereka itu penuhilah janjinya sampai batas waktunya. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa”. (QS. At-Taubah 9 : 4)

Dan Allah juga menegaskan dalam firman-Nya,

وَإِنْ نَكَثُوا أَيْمَانَهُمْ مِنْ بَعْدِ عَهْدِهِمْ وَطَعَنُوا فِيْ دِينِكُمْ فَقَاتِلُوا أَئِمَّةَ الْكُفْرِ إِنَّهُمْ لاَ أَيْمَانَ لَهُمْ لَعَلَّهُمْ يَنْتَهُونَ

“Jika mereka merusak sumpah (janji) nya sesudah mereka berjanji, dan mereka mencerca agama kalian, maka perangilah pemimpin-pemimpin kekafiran itu, karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang tidak dapat dipegang janjinya, agar supaya mereka berhenti”. (QS. At-Taubah 9 : 12)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadits ‘Abdullah bin ‘Amr riwayat Bukhari,

مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرِحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ وَإِنَّ رِيْحَهَا تُوْجَدُ مِنْ مَسِيْرَةِ أَرْبَعِيْنَ عَامًا

“Siapa yang membunuh Kafir Mu’ahad ia tidak akan mencium bau surga dan sesungguhnya bau surga itu tercium dari perjalanan empat puluh (40) tahun”.

3) Kafir Musta’man


Mereka adalah orang Kafir yang meminta keamanan, atau meminta suaka politik ke Negara Islam dalam jangka waktu tertentu, seperti pendapat Ibnul Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah:

وأما المستأمن فهو الذي يقدم بلاد المسلمين من غير استيطان لها

Sedangkan Musta’man adalah orang Kafir yang datang ke negara Muslim tanpa tinggal menetap disana. (Ibnul Qayyim Al-Jauziyah, Ahkam Ahlu Dzimmah, 2/874)

Golongan ini terbagi menjadi empat (4) jenis, yaitu:

1. Para utusan.

2. Para pedagang.

3. Orang-orang yang meminta perlindungan kepada kaum Muslimin sehingga punya kesempatan untuk mempelajari Islam dan Al-Qur’an kepada mereka. Jika mereka ingin, mereka dapat masuk Islam, dan jika tidak mereka pun dikembalikan ke negara mereka masing-masing.

4. Orang-orang yang berkepentingan di negeri kaum Muslimin, seperti orang Kafir yang berkunjung (baca: turis) dan semisalnya.

Golongan ini tidak diperangi dan dibunuh serta tidak diberlakukan jizyah terhadap mereka. Orang yang meminta perlindungan dari golongan ini ditawari untuk masuk Islam, apabila dia menerimanya itulah yang diinginkan, namun jika dia hendak kembali ke negeri asalnya, maka dirinya pun diantarkan menuju ke sana dan Islam tidak ditawarkan kembali kepadanya sebelum sampai di negerinya.

Apabila dirinya telah sampai di negeri asalnya, maka statusnya kembali menjadi Ahlul Harb yang boleh diperangi. (Ahkam Ahli Dzimmah 2/873)

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلاَمَ اللَّهِ ثُمَّ أَبْلِغْهُ مَأْمَنَهُ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لاَ يَعْلَمُونَ

“Dan jika seorang diantara kaum Musyrikin meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia agar ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui”. (QS. At-Taubah 9 : 6)

Dan dalam hadits ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan,

ذِمَّةُ الْمُسْلِمِيْنَ وَاحِدَةٌ يَسْعَى بِهَا أَدْنَاهُمْ

“Dzimmah (janji, jaminan keamanan dan tanggung jawab) kaum Muslimin itu satu, diusahakan oleh orang yang paling bawah (sekalipun)”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Berkata Imam An-Nawawi rahimahullah, “Yang diinginkan dengan Dzimmah di sini adalah Aman (jaminam keamanan). Maknanya bahwa Aman kaum Muslimin kepada orang Kafir itu adalah sah (diakui), maka siapa yang diberikan kepadanya Aman dari seorang Muslim, maka haram atas (Muslim) yang lainnya mengganggunya sepanjang ia masih berada dalam Amannya”.

Dan dalam hadits Ummu Hani riwayat Bukhari beliau berkata :

يَا رَسُوْلَ اللهِ زَعَمَ ابْنُ أُمِّيْ أَنَّهُ قَاتِلٌ رَجُلاً قَدْ أَجَرْتُهُ فَلاَنَ بْنَ هُبَيْرَةَ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَدْ أَجَرْنَا مَنْ أَجَرْتِ يَا أُمَّ هَانِئٍ

“Wahai Rasulullah, anak ibuku (yaitu ‘Ali bin Abi Thalib) menyangka bahwa ia boleh membunuh orang yang telah saya lindungi (yaitu) si Fulan bin Hubairah. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa salllam bersabda : “Kami telah melindungi orang yang engkau melindungi wahai Ummu Hani”.

Banyak dalil yang melarang pembunuhan ketiga jenis orang Kafir di atas, bahkan terdapat ancaman yang keras dalam sabda Rasulullah,

مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرَحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ وَإِنَّ رِيْحَهَا تُوْجَدُ مِنْ مَسِيْرَةِ أَرْبَعِيْنَ عَامًا

“Siapa yang membunuh Kafir Mu’ahad, ia tidak akan mencium bau surga dan sesungguhnya bau surga itu tercium dari perjalanan empat puluh (40) tahun”. (HR. Bukhari no. 3166, 6914, An-Nasa`i 8/25 dan Ibnu Majah no. 2686)

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berpendapat bahwa kata Mu’ahad dalam hadits di atas mempunyai cakupan yang lebih luas. Beliau berkata, “Dan yang diinginkan dengan (Mu’ahad) adalah setiap yang mempunyai perjanjian dengan kaum Muslimin, baik dengan akad jizyah (Kafir Dzimmy), perjanjian dari penguasa (Kafir Mu’ahad), atau jaminan keamanan dari seorang Muslim (Kafir Musta’man)”. (Fathul Bary 12/259)

4) Kafir Harbi


أَهْل الْحَرْبِ أَوِ الْحَرْبِيُّونَ : هُمْ غَيْرُ الْمُسْلِمِينَ الَّذِينَ لَمْ يَدْخُلُوا فِي عَقْدِ الذِّمَّةِ ، وَلاَ يَتَمَتَّعُونَ بِأَمَانِ الْمُسْلِمِينَ وَلاَ عَهْدِهِمْ

Ahlul Harbi atau harbiyun, mereka adalah orang Kafir yang tidak masuk dalam perjanjian jaminan, juga tidak merasakan perjanjian keamanan dan perdamaian dengan kaum Muslimin. (Fathul Qadir, 4/278. Mawahib Al Jalil, 3/346-350, Asy Syarhush Shaghir, 2/267, Nihatul Muhtaj, 7/191, Mughnil Muhtaj, 4/209)

Orang Kafir dalam point 1 sampai 3 semuanya tidak diboleh diganggu dan diperangi kecuali Kafir Harbi. Lalu, kapankah mereka menjadi Kafir Harbi semua?

يصبح الذمي والمعاهد والمستأمن في حكم الحربي باللحاق باختياره بدار الحرب مقيما فيها ، أو إذا نقض عهد ذمته فيحل دمه وماله

Kafir Dzimmi, Mu’ahad (kafir yang terikat perjanjian), dan Musta’man (minta suaka kemanan), akan dihukumi menjadi Kafir Harbi jika mereka memilih untuk tinggal di negeri Kafir Harbi, atau jika perjanjian jaminan kepada mereka sudah batal, maka halal darah dan hartanya. (Ad Durul Mukhtar, 3/275, Syarhus Shaghir, 2/316, Mughni Muhtaj, 4/258-262)

Selain penjelasan diatas, yang termasuk Kafir Harbi adalah yang melanggar perjanjian. Kafir Harbi juga adalah orang Kafir yang menghina Islam secara terbuka, dan merendah-rendahkan kedudukan Islam jika sebelumnya mereka tergolong point 1 – 3, maka dengan apa yang mereka lakukan tersebut membuat darah mereka kembali halal untuk ditumpahkan.

Bisa jadi mereka itu diperangi jika mereka memiliki kekuatan dan kekuasaan yang melindungi diri mereka dari kekuasaan dan kekuatan Negara Islam sampai meeka kembali tunduk dan patuh, atau bisa jadi mereka atau individu tertentu langsung diringkus untuk dijatuhi hukuman mati oleh pihak berwenang dari Negara Islam karena menghina agama Islam, menghina Allah dan Rasul-Nya, dan dalilnya bisa dilihat dalam Kitab Ash-Sharim Al-Mashlul ‘ala Syatim Ar-Rasul karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.

Allah menegaskan dalam firman-Nya,

وَإِنْ نَكَثُوا أَيْمَانَهُمْ مِنْ بَعْدِ عَهْدِهِمْ وَطَعَنُوا فِيْ دِينِكُمْ فَقَاتِلُوا أَئِمَّةَ الْكُفْرِ إِنَّهُمْ لاَ أَيْمَانَ لَهُمْ لَعَلَّهُمْ يَنْتَهُونَ

“Jika mereka merusak sumpah (janji) nya sesudah mereka berjanji, dan mereka mencerca agama kalian, maka perangilah pemimpin-pemimpin kekafiran itu, karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang tidak dapat dipegang janjinya, agar supaya mereka berhenti”. (QS. At-Taubah 9 : 12)

Imam Al-Qurthubi rahimahullah berkata:

“Sebagian ulama berdalil dengan ayat ini atas wajibnya membunuh setiap orang yang mencerca agama Islam karena ia telah Kafir. Mencerca (ath-Tha’nu) adalah menyatakan sesuatu yang tidak layak tentang Islam atau menentang dengan meremehkan sesuatu yang termasuk ajaran Islam, karena telah terbukti dengan dalil yang qath’i (jelas dan tegas) atas kebenaran pokok-pokok ajaran Islam dan kelurusan cabang-cabang ajaran Islam.

Imam Ibnu Al-Mundzir rahimahullah berkata:

“Para ulama telah berijma’ (bersepakat) bahwa orang yang mencaci maki Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam harus dibunuh. Diantara yang berpendapat demikian adalah Imam Malik (bin Anas), Laits (bin Sa’ad), Ahmad (bin Hambal) dan Ishaq (bin Rahawaih). Hal itu juga menjadi pendapat imam Syafi’I”. (Al-Jami’ li-Ahkamil Qur’an, 8/82)

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata:

“Makna firman Allah mereka mencerca agama kalian adalah mereka mencela dan melecehkan agama kalian. Berdasar firman Allah ini ditetapkan hukuman mati atas setiap orang yang mencaci maki Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam atau mencerca agama Islam atau menyebutkan Islam dengan nada melecehkan. Oleh karena itu Allah kemudian berfirman maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang Kafir itu, karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang tidak dapat dipegang janjinya, agar supaya mereka berhenti, maksudnya mereka kembali dari kekafiran, penentangan dan kesesatan mereka”. (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 4/116)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:

“Allah Ta’ala menamakan mereka pemimpin-pemimpin orang-orang Kafir karena mereka mencerca agama Islam. Maka telah tetaplah bahwa setiap orang yang mencerca agama Islam adalah pemimpin orang-orang Kafir. Jika seorang Kafir Dzimmi mencerca agama Islam maka ia telah menjadi seorang pemimpin bagi orang-orang Kafir, dan ia wajib dibunuh berdasar firman Allah Ta’ala, “maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang Kafir itu“. (Ash-Sharim Al-Mashlul ‘ala Syatim Ar-Rasul, hlm. 17)

Dalil-Dalil Syar’i Memerangi Kafir Harbi


Firman Allah Al-‘Aziz Al-Hakim,

قَاتِلُوا الَّذِينَ لاَ يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلاَ بِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلاَ يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَلاَ يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ

“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan shogirun (hina, rendah, patuh)”. (QS. At-Taubah 9 : 29)

Dan dalam hadits Buraidah riwayat Muslim Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda,

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَمَّرَ أَمِيْرًا عَلَى جَيْشٍ أَوْ سَرِيَّةٍ أَوْصَاهُ فِيْ خَاصَّتِهِ بِتَقْوَى اللهِ وَمَنْ مَعَهُ مِنْ الْمُسْلِمِيْنَ خَيْرًا ثُمَّ قَالَ أُغْزُوْا بِاسْمِ اللهِ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ قَاتِلُوْا مَنْ كَفَرَ بِاللهِ أُغْزُوْا وَلاَ تَغُلُّوْا وَلاَ تَغْدِرُوْا وَلاَ تُمَثِّلُوْا وَلاَ تَقْتُلُوْا وَلِيْدًا وَإِذَا لَقِيْتَ عَدُوَّكَ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ فَادْعُهُمْ إِلَى ثَلاَثِ خِصَالٍ فَأَيَّتُهُنَّ مَا أَجَابُوْكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ ثُمَّ ادْعُهُمْ إِلَى الْإِسْلاَمِ فَإِنْ أَجَابُوْكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ فَإِنْ هُمْ أَبَوْا فَسَلْهُمُ الْجِزْيَةَ فَإِنْ هُمْ أَجَابُوْكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ فَإِنْ هُمْ أَبَوْا فَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَقَاتِلْهُمْ

“Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam apabila beliau mengangkat amir/pimpinan pasukan beliau memberikan wasiat khusus untuknya supaya bertakwa kepada Allah dan (wasiat pada) orang-orang yang bersamanya dengan kebaikan. Kemudian beliau berkata : “Berperanglah kalian di jalan Allah dengan nama Allah, bunuhlah siapa yang Kafir kepada Allah, berperanglah kalian dan jangan mencuri harta rampasan perang dan janganlah mengkhianati janji dan janganlah melakukan tamtsil (mencincang atau merusak mayat) dan janganlah membunuh anak kecil dan apabila engkau berjumpa dengan musuhmu dari kaum Musyrikin dakwailah mereka kepada tiga (3) perkara, apa saja yang mereka jawab dari tiga perkara itu maka terimalah dari mereka dan tahanlah (tangan) terhadap mereka; serulah mereka kepada Islam, dan apabila mereka menerima maka terimalah dari mereka dan tahanlah (tangan) terhadap mereka, apabila mereka menolak maka mintalah jizyah (upeti) dari mereka dan apabila mereka memberi maka terimalah dari mereka dan tahanlah (tangan) terhadap mereka, apabila mereka menolak maka mintalah pertolongan kepada Allah kemudian perangi mereka”.

Dan dalam hadits Al-Mughiroh bin Syu’bah riwayat Bukhari beliau berkata,

أَمَرَنَا رَسُوْلُ رَبِّنَا صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ أَنْ نُقَاتِلَكُمْ حَتَّى تَعْبُدُوْا اللهَ وَحْدَهُ أَوْ تُؤَدُّوْا الْجِزْيَةَ

“Kami diperintah oleh Rasul Rabb kami shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam untuk memerangi kalian sampai kalian menyembah Allah satu-satunya atau kalian membayar Jizyah”.

Dalil-dalil diatas sebagai dasar untuk memerangi Kafir asli dan yang sebelumnya sama sekali tidak termasuk point 1-3 dan juga sebagai dasar memerangi kembali golongan 1-3 yang statusnya kembali menjadi Kafir Harbi karena sebab tertentu. Wallahu a’lam.. [Edt; MMC/Pena Jundi]

Sumber: Mata-Media