Ternyata Selama Ini Demokrasi Adalah Biang Segala Kekafiran & Kerusakan!
Oleh: Musthofa Hanafi
Ada sebagian kaum Muslimin yang bertanya.."Apakah Demokrasi dan Pemilu itu sesuai dan sejalan dengan Islam?? Dan bisakah Demokrasi itu mendatangkan manfaat dan mashlahat bagi umat Islam dan masyarakat??"
Para pembaca yang dirahmati Allah semuanya, secara bahasa, Demokrasi berasal dari bahasa Yunani, yaitu berasal dari kata Demos dan Kratos. Demos artinya rakyat, sedangkan Kratos artinya kekuasaan atau pemerintahan.
Maknanya adalah pemerintahan dan kekuasaan itu di tangan rakyat. Pada prakteknya, sistem Demokrasi adalah suatu pemerintahan yang dijalankan dengan kehendak rakyat (mayoritas rakyat). Maka sistem kekuasaan yang berlaku, hukum undang-undang, program penguasa suatu Negara ditentukan oleh suara mayoritas rakyat atau para wakilnya yang ada dan duduk di gedung parlemen (DPR/DPRD/DPD).
Dalam sistem Demokrasi, membuat hukum itu ada di tangan rakyat atau para wakilnya, yakni yang disebut sebagai anggota legislatif (law maker atau pembuat hukum). Demokrasi bersumber dari akal manusia, yang terkenal dengan ajaran Trias Politica.
Dalam Trias Politica disebutkan bahwa kekuasaan terbagi menjadi tiga (3) yaitu, Legislatif sebagai pembuat hukum, aturan dan Undang-Undang (UU); Eksekutif sebagai pelaksana hukum, aturan dan Undang-Undang (UU); dan Yudikatif sebagai pengawas hukum, aturan dan Undang-Undang (UU).
Ajaran Demokrasi atau yang oleh para ulama disebut sebagai Agama Demokrasi (Ad-Dienu Ad-Dimuqrothiyyah) berasal dari pikiran manusia yang penuh dengan kelemahan dan kekurangan, serta menjadi biang keladi dari segala macam kerusakan dan kekafiran.
Sebab, dalam sistem Demokrasi setiap orang bebas untuk memilih agama dan berpindah agama, sehingga tidak mengapa bila seorang Muslim memilih Murtad (keluar dari agama Islam), berpindah agama Yahudi atau Nashrani atau agama lainnya, tanpa ada hukuman apapun. Sedangkan dalam Islam, seorang Muslim yang berpindah agama (Murtad), maka hukumannya adalah dibunuh.
Dalam ajaran Demokrasi, setiap orang yang beragama apa saja selain Islam tidak disebut Kafir. Bahkan pada waktu kemarin, sejumlah elite di Nahdhatul Ulama (NU) yang notabenya merupakan gembong dan pentolan kaum Liberal dengan lantang mengganti istilah Kafir dengan sebutan non-Muslim.
Tak hanya itu, kerusakan dan penyimpangan ajaran Demokrasi lainnya adalah setiap manusia mempunyai kedudukan yang sama derajatnya dalam Demokrasi, baik Kafir maupun Muslim, pria itu sama dengan wanita, orang berilmu dan orang bodoh disamakan, ulama atau ustadz disamakan dengan penjahat, orang waras disamakan dengan orang gila, dan sejumlah persamaan lainnya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ اللهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَآأَنفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللهُ
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebahagian dari harta mereka. Sebab itu, maka wanita yang shalih, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)”. (QS. An-Nisa’ 4 : 34)
Dalam ayat yang lain Allah Ta’ala berfirman,
وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَاللهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS. Al-Baqarah 2 : 228)
Allah Ta’ala juga berfirman,
قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُوْلُوا الْأَلْبَابِ
“Katakanlah (wahai Muhammad) apakah sama orang-orang yang mengetahui dan orang-orang yang tidak mengetahui. Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran”. (QS. Az-Zumar 39 : 9)
Para pembaca yang dirahmati Allah semuanya, hakikat dari ajaran Demokrasi itu adalah pemberian kekuasaan kepada mayoritas rakyat atau wakilnya untuk membuat hukum atau Undang-Undang (UU).
Dimana hukum atau UU yang telah disepakati oleh para wakil rakyat akan ditaati dan dijunjung tinggi oleh rakyat. Setiap orang yang melanggarnya akan dikenakan sanksi sesuai dengan UU tersebut. Padahal, sebuah kebenaran tidak diukur dari mayoritas orang. Allah Ta’ala berfirman,
وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ ۚ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ﴿١١٦﴾إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ مَنْ يَضِلُّ عَنْ سَبِيلِهِ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allâh. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persanggkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah mengira-ngira saja. Sesungguhnya Rabbmu, Dia-lah yang lebih mengetahui tentang orang yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia lebih mengetahui tentang orang orang yang mendapat petunjuk”. (QS. Al-An’am 6 : 116-117)
Allah Ta’ala juga berfirman,
وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلَّا وَهُمْ مُشْرِكُونَ
“Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allâh, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allâh (dengan sembahan-sembahan lain)”. (QS. Yûsuf 12 : 106)
Dan juga firman-Nya,
وَلَقَدْ صَرَّفْنَا لِلنَّاسِ فِي هَٰذَا الْقُرْآنِ مِنْ كُلِّ مَثَلٍ فَأَبَىٰ أَكْثَرُ النَّاسِ إِلَّا كُفُورًا
“Dan sesungguhnya Kami telah mengulang-ulang kepada manusia dalam al-Quran ini tiap-tiap macam perumpamaan, tapi kebanyakan manusia tidak menyukai kecuali mengingkari (nya). (QS. Al-Isra’ 17 : 89)
Firman-Nya lagi,
وَمَا وَجَدْنَا لِأَكْثَرِهِمْ مِنْ عَهْدٍ ۖ وَإِنْ وَجَدْنَا أَكْثَرَهُمْ لَفَاسِقِينَ
“Dan Kami tidak mendapati kebanyakan mereka memenuhi janji. Sesungguhnya Kami mendapati kebanyakan mereka orang-orang yang fasik”. (QS. Al-A’raaf 7 : 102)
Bahkan yang lebih celaka dan membinasakan, hukum yang dibuat oleh para anggota legislatif atau anggota dewan itu realitanya banyak yang menghalalkan apa-apa saja yang telah diharamkan oleh Allah Ta’ala, dan sebaliknya.
Seperti membolehkan pelacuran pada tempat tertentu yang diatur undang-undang, Membolehkan penjualan dan pembuatan khamr (miras) pada tempat yang berizin, dan lainnya. Padahal, hanya Allah-lah yang berhak menetapkan dan memutuskan hukum.
Dalam Demokrasi, hal-hal yang hukumnya sudah ditentukan oleh Allah Ta’ala harus dimusyawarahkan dan dimintakan persetujuan kepada manusia dan para Thoghut. Bahkan menentukan halal, haram, baik dan buruk yang semuanya itu masih juga dimusyawarahkan. Allah Ta’ala berfirman,
إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ ۚ أَمَرَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ ۚ ذَٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
“Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (QS. Yusuf 12 : 40)
إِنِ الْحُكْمُ إِلا لِلَّهِ يَقُصُّ الْحَقَّ وَهُوَ خَيْرُ الْفَاصِلِينَ
“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik”. (QS. Al-An’aam 6 : 57)
أَلا لَهُ الْخَلْقُ وَالأمْرُ تَبَارَكَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
“Ingatlah, menciptakan dan memerintahkan hanyalah hak Allah. Maha suci Allah, Rabb semesta alam”. (QS. Al-A’raaf 7 : 54)
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
“Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih daripada (hukum) Allah bagi oang-orang yang yakin?”. (QS. Al-Maa’idah 5 : 50)
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آَمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلَالًا بَعِيدًا
“Tidaklah kamu memperhatikan orang-orang yang mengaku beriman kepada apa yang telah diturunkan kepadamu dan apa yang diturunkan sebelumnya? Mereka ingin berhukum kepada Thaghut, padahal mereka telah diperintah untuk mengingkari Thaghut itu. Dan setan bermaksud menyesatkan mereka sejauh-jauhnya”. (QS. An-Nisa’ 4 : 60)
Adalah suatu anggapan yang salah kalau dikatakan bahwa Demokrasi sesuai dengan Islam dan bisa bermanfat serta mendatangkan maslahat bagi Islam dan kaum Muslimin. Sebab, prinsip ajaran Demokrasi yang merupakan buatan manusia itu bertentangan dengan prinsip ajaran Islam yang datang dari pencipta langit dan bumi, yakni Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Inilah sepuluh (10) prinsip Demokrasi
1. Kekuasaan milik rakyat dan ditangan rakyat, meskipun realitanya, rakyat sering ditipu dan dibodohi oleh sistem Demokrasi dan politikus didalam sistem Demokrasi.2. Kebebasan berkeyakinan dan beragama. Didalamnya terdapat penganuliran jizyah (pajak) bagi orang-orang Kafir, dan had riddah (kemurtadan). Sementara itu didalam sistem Demokrasi, pajak juga diterapkan kepada orang Islam dan Kafir, serta orang kaya dan miskin secara dzalim dan memaksa.
3. Tempat kembali adalah rakyat, ketika terjadi perselisihan dan persengkatan. Padahal Allah Ta’ala berfirman,
(يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً)
“Wahai orang-orang yang beriman! Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul, serta ulil amri diantara kalian. Jika kalian berselisih dalam suatu hal, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya. Jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (QS. An-Nisa’ 4 : 59)
4. Kebebasan berpendapat dan berbicara. Termasuk didalamnya, mencaci dan memperolok para nabi dengan gambar-gambar merupakan bagian dari kebebasan berekspresi, dan itu diperbolehkan dalam sistem Demokrasi.
5. Pemisahan agama dari negara. Ini adalah kekufuran yang nyata dari sistem Demokrasi. Tidak ada penerapan bagi syariat Allah. Agama ada di dalam masjid saja.
6. Kebebasan pribadi bagi semua individu. Diantara hak setiap individu adalah bebas memakai atau meyakini apa saja, tanpa harus bertentangan dengan prinsip pemisahan agama, artinya kecuali komitmen untuk menjalankan Islam.
7. Kebebasan membentuk partai. Membentuk partai-partai sekuler, liberal, atheis, dan sosialis.
8. Prinsip mayoritas untuk mengesahkan undang-undang. Seandainya 51 % mengesahkan minum khamr dan pelacuran, maka keduanya menjadi bagian dari undang-undang negeri. Berdasarkan hal ini agama dihancurkan dan rusaknya rakyat dan masyarakat yang ada didalamnya.
9. Pemilik hakiki dari harta adalah rakyat. Ini bertentangan dengan Islam, di mana pemilik hakiki dari harta adalah Allah. Dia memberikannya kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Dan manusia adalah wakil Allah didalamnya.
10. Prinsip persamaan. Persamaan antara laki-laki dan perempuan, antara kaum Muslimin dan orang-orang Kafir dan Musyrik. Didalamnya terdapat penghancuran ayat-ayat Allah, seperti tentang mawarits, pembayaran jizyah, dan lainnya.
Kesepuluh prinsip Demokrasi ini semuanya adalah kekufuran yang tidak akan diakui oleh orang-orang beriman dan seorang muwahhid manapun yang takut kepada Allah Ta’ala dan beriman kepada-Nya semata. Oleh karena itu, sudah sepantasnya setiap Muslim tidak ikut serta dalam aktivitas dan segala rangkaian kegiatan yang ada didalam sistem Demokrasi misalnya Pemilu.
Lalu ada muncullah pertanyaan..
"Bagaimana cara memilih sebuah pemimpin dalam Islam, dan bagaimana umat Islam bisa dipimpin oleh orang yang baik dan sholih kalau tidak ikut serta dalam Pemilu??"
Maka hal ini bisa kita tanya balik, apakah dalam realitanya selama ini sistem Demokrasi dan Pemilu diterapkan, ada sebuah negeri atau negara yang bisa dipimpin oleh orang yang baik dan sholih yang menerapkan syariat Islam secara kaffah??
Jawabannya tentu saja..
TIDAK PERNAH ADA DAN TIDAK PERNAH TERJADI DI MUKA BUMI INI.
Sebab realitanya dan sampai kapanpun, Demokrasi dan Pemilu itu tidak akan pernah bermanfaat dan mendatangkan maslahat kepada Islam dan kaum Muslimin. Yang ada justru, kaum Muslimin terus ditindas, didzalimi, difitnah dengan berbagai macam fitnah, dan agama Islam terus dihinakan dan dilecehkan dibawah sistem Demokrasi. Inilah fakta yang sampai detik ini terjadi.Sedangkan didalam Islam, cara memilih pemimpin itu ada dua (2) cara jika mengikuti pemahaman salafush-sholih dan para sahabat Nabi Muhammad yang mulia, yakni dengan cara syuro (musyawarah) oleh orang-orang yang alim, sholih dan ahli di bidang agama atau istilahnya Ahlul-Halli wal-Aqdi (AHWA), serta penunjukkan langsung oleh pemimpin sebelumnya.
Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, para sahabat Nabi radhiyallahu ‘anhum bermusyawarah dan melakukan ijtima’, lalu memutuskan dan menetapkan Abu Bakar Ash-Shidiq radhiyallahu ‘anhu sebagai Khalifah pengganti Rasulullah. Ini merupakan cara pertama dalam memilih dan mengangkat pemimpin. Cara ini juga dilakukan ketika para sahabat memilih Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu menjadi Khalifah.
Kemudian, sebelum Abu Bakar Ash-Shidiq radhiyallahu ‘anhu meninggal, Abu Bakar memutuskan, memilih dan menetapkan Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu sebagai Khalifah pengganti dirinya. Dua (2) cara inilah yang sudah terbukti bisa mengembalikan kejayaan dan kemuliaan Islam dan kaum Muslimin.
Sedangkan jika menggunakan cara memilih pemimpin dalam sistem Demokrasi, yakni pelaksanaan Pemilu, sudah terbukti menimbulkan kerusakan, kerusuhan, biaya yang banyak dan memboroskan serta cara yang ribet dan bisa mengeluarkan umat Islam dari agamanya. Na’udzubillah min dzalik… [Edt; Abd]
Post a Comment